September 1, 2021 | Other Activities
Oleh Ester F. Abatan
Mahasiswi STIE IEU SURABAYA/ PKL di Badan Pusat Statistik Kota KupangPandemi covid-19 memunculkan berbagai keprihatinan bagi masyarakat Indonesia. Melihat angka kasus positif covid-19 yang semakin tidak terkendali, Pemerintah mengambil langkah untuk mengurangi penularan virus covid-19 dengan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berlaku mulai 3-20 Juli 2021 dan kemudian diperpanjang hingga tanggal 2 Agustus 2021. Sejak diberlakukannya PPKM tentu mengundang pro dan kontra. Dilema melanda masyarakat yang menengah ke bawah, terutama bagi mereka yang mengandalkan penghasilan harian semata-mata untuk survive di tengah pandemi yang seakan mencekik.
Menurut data yang dirilis oleh Kemnaker, sejak April 2020 sampai dengan Juli 2020 tercatat sekitar 2.175.928 pekerja yang terdampak covid-19. Mereka diantaranya adalah kelompok yang dirumahkan perusahaan, kelompok yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan kelompok pekerja informal/bangkrut/kehilangan usaha. Mereka yang dirantai kemiskinan struktural harus menghadapi tantangan melawan covid-19 atau memenuhi kebutuhan ekonomi,
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur mengalami peningkatan dari 11,29 ribu jiwa (September 2019) sebelum virus covid-19 masuk ke Indonesia, menjadi 11,69 ribu jiwa per Maret 2021. Di hadapan covid-19 nasib yang kaya dan yang miskin jelas tidak sama. Yang kaya tidak menghadapi pilihan “mati karena terpapar covid” atau “mati karena lapar.” Karenanya tidak cukup membatasi gerak tanpa memberi makan mereka yang lapar. Bansos yang diadakan pemerintah pula belum tepat sasaran dan merata. Belum lagi kasus bansos yang dikorupsi.
Konsep kemiskinan
Berbicara mengenai kemiskinan, kemiskinan itu sendiri adalah ketidakmampuan seorang atau individu dalam memenuhi kebutuhan utamanya yaitu makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan. Untuk mengukur kemiskinan, BPS sendiri menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan pengeluaran kebutuhan manimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita/hari. Dan pengeluaran kebutuhan minimum perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) ukuran garis kemiskinan diprovinsi NTT sendiri pada tahun 2020 sekitar 403.005 Rp/kapita/bulan.
Namun, menurut bank dunia menetapkan bahwa batas garis kemiskinan itu ditentukan berdasarkan pendapatan 2 dollar AS perorang. Sedangkan menurut bank dunia, pendapatan penduduk Indonesia hanya sekitar 1 dollar AS. Hal ini mengimplikasikan bahwa di Indonesia terutama dibeberapa daerah yang tertinggal, kemiskinan masih menjadi beban berat yang harus segera ditanggulangi. Selama lima tahun terakhir Indonesia mampu menekan angka kemiskinan secara stabil tetapi hal ini tidak berlangsung lama sejak pandemic covid 19 menyerang.
Berdasarkan jenisnya, kemiskinan dibagi menjadi empat antara lain, pertama, kemiskinan absolut yaitu pendapatan seseorang berada dibawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan utamanya. Kedua, kemiskinan relative yaitu kemiskinan akibat kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga terjadi ketimpangan distribusi pendapatan. Ketiga, kemiskinan kultural akibat gaya hidup malas, boros, dan tidak kreatif meski ada bantuan dari pihak lain. Keempat, kemiskinan struktural yaitu kemiskinan karena rendahnya akses terhadap sumber daya akibat system sosial, budaya, dan politik yang tidak mendukung pembebesan kemiskinan.
Ketimpangan Ekonomi Golongan Kaya dan Golongan Miskin
Jumlah pasien covid yang semakin meningkat dan varian baru dari virus itu sendiri membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan dalam upaya untuk memutus rantai penyebaran covid 19. Akan tetapi, hal ini malah menimbulkan problematika baru yaitu terjadi ketimpangan antar golongan kaya dan golongan miskin. Golongan kaya mendukung adanya pembatasan wilayah dan social akan tetapi golongan miskin banyak yang merasa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru mencekik mereka.
Menurut lembaga riset Oxfem, ketimpangan di dunia semakin meningkat pesat selama masa pandemic. Orang yang kaya tidak terlalu merasakan dampak sedangkan orang miskin semakin miskin. Dilansir dari Forbes, kekayaan milyuner tetap meningkat per desember 2020 dibanding desember 2019, sedangkan disisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencetak upah buruh/karyawan di Indonesia per agustus 2020 turun 5,2% dari 2,89 juta ke 2,75 juta.
Tercatat berdasarkan data dari BPS pada maret 2021 yang diukur oleh gini ratio adalah sebesar 0,384. Angka ini menurun 0,001 poin jika dibandingkan dengan gini ratio September 2020 yang sebesar 0,385 dan meningkat 0,003 poin dibandingkan dengan gini ratio maret 2020 yang sebesar 0,381. Sedangkan untuk provinsi NTT pada maret 2021, adalah sebesar 0,346. Angka ini menurun 0,010 poin dibandingkan dengan gini ratio September 2020 yang sebesar 0,356. Semakin tinggi angka gini ratio, berarti ketimpangan semakin melebar sebaliknya, jika gini ratio mengecil, maka ketimpangannya semakin kecil. Ketimpangan yang melebar menandakan bahwa ketidakmerataan pengeluaran masyarakat. Hal ini menunujukan tingkat kemiskinan relative atau angka ketimpangan pengeluaran turun. Hal ini diklaim sebagai keberhasilan program penanggulangan kemiskinan seperti bantuan social (bansos), Bantua Langsung Tunai (BLT), dll. Namun hal ini masih belum maksimal karena turunya angka ketimpangan masih belum signifikan.
Adanya PPKM semasa pandemi membuat masyarakat tidak mendapat keleluasan mencari nafkah, hanya bisa berdiam diri menunggu bantuan yang datang. Yang kaya meneriaki orang miskin adalah dampak dari kemalasan dan kebodohan padahal kemiskinan itu struktural.
Mereka yang tidak pernah mengalami tidak akan mengerti susahnya keluar dari lingkaran kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural menurut Edi Suharto, direktur Kesejahteraan Anak Kemensos, terjadi bukan karena si orang miskin itu malas, tidak mau bekerja dan sebagainya tapi karena ketidakmampuan sistem berikut juga struktur sosial dalam memberikan keadilan yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan kesempatan pekerjaan-pekerjaan yang layak atau setidaknya mengeluarkan mereka dari ambang kemiskinan. Akibatnya, yang kaya akan tetap di atas dan yang miskin tetap terbelenggu di dalam kejamnya sistem yang memperbudak mereka. Masyarakat miskin bisa dibilang paling merasakan adanya dampak dari pandemi terkhususnya keadaan semasa PPKM. Kebutuhan akan makanan saja sudah susah payah dipenuhi, apalagi ditambah kebutuhan pemenuhan kesehatan seperti suplemen, vitamin, dan obat-obatan untuk melawan covid-19. Lebih sial lagi apabila covid-19 menyerang tulang punggung keluarga yang tentu menyengsarakan, apalagi sampai merenggut nyawa.
BPS-Statistics Indonesia
Badan Pusat Statistik Kota Kupang (Statistics of Kupang Municipality) Jl. Frans Seda Kayu Putih Oebobo Kota Kupang
Telp. (0380) 824432 Mailbox : bps5371@bps.go.id
About Us