Oleh: Muhammad Amir Ma’ruf
Statistisi Ahli BPS Kota Kupang
Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Perpres Nomor 63 Tahun
2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024, di mana
terdapat 62 kabupaten dari 10 provinsi termasuk kategori tersebut.
Di NTT, sebanyak 13 kabupaten di Provinsi NTT merupakan daerah
tertinggal. Daerah tersebut tersebar di berbagai gugus pulau. Jika
dijabarkan, seluruh kabupaten di Pulau Sumba termasuk kategori
tertinggal. Kemudian, Kabupaten Sabu Raijua, Rote Ndao, Alor, dan
Lembata juga disebutkan dalam lampiran perpres.
Akan tetapi hal menarik terjadi pada Pulau Flores, di mana hanya 1
dari 8 kabupaten yang termasuk daerah tertinggal. Anomali justru terjadi
di Pulau Timor, dari 6 (enam) kabupaten/kota, 4 (empat) diantaranya
adalah daerah tertinggal.
Empat daerah tersebut adalah Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan
(TTS), Belu, dan Malaka. Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang semula
ditetapkan sebagai daerah tertinggal pada periode sebelumnya, kini
menyusul Kota Kupang sebagai daerah yang tidak dikategorikan sebagai
daerah tertinggal.
Bagaimana Bisa?
Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal berdasarkan 6
(enam) kriteria, yaitu: Perekonomian masyarakat, sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan
karakteristik daerah.
Indikator perekonomian meliputi persentase penduduk miskin dan
pengeluaran per kapita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
jumlah penduduk miskin di Pulau Timor pada tahun 2019 mencapai 384 ribu
jiwa. Sedangkan di Pulau Flores 368 ribu jiwa.
Dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kabupaten di Pulau
Flores sedikit lebih unggul. Jika tidak menyertakan Kota Kupang,
rata-rata IPM kabupaten di Pulau Timor pada tahun 2019 hanya 62,58;
sedangkan rata-rata IPM kabupaten di Pulau Flores mencapai 64,76. Dua
indikator ini menunjukkan kabupaten-kabupaten yang berada di Pulau Timor
masih tertinggal dibanding kabupaten-kabupaten yang berada di Pulau
Flores.
Indikator-indikator tersebut kontras bila dibandingkan dengan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) kedua pulau. Pada tahun 2019, Pulau Timor
memiliki PDRB sekitar 34 triliun, sedangkan PDRB kabupaten yang berada
di Pulau Flores hanya 21,9 triliun (sumber: BPS).
Namun, perlu diketahui bahwa 49 persen PDRB kabupaten/kota di Pulau
Timor dihasilkan oleh Kota Kupang. Hal ini mengindikasikan adanya
ketimpangan ekonomi yang terjadi di Pulau Timor, dimana sumber
pertumbuhan tidak mampu membuat divergensi ekonomi ke wilayah
sekitarnya.
Selama ini, pusat pertumbuhan ekonomi Pulau Timor adalah Kota Kupang.
Pembangunan infrastruktur dan investasi di wilayah tersebut sangat
masif bila dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Timor. Lihat saja
jumlah hotel, pusat perbelanjaan, dan fasilitas ekonomi lainnya di Pulau
Timor menumpuk di Kota Kupang.
Hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah akses masuk barang dan
jasa serta menekan disparitas harga di Bumi Flobamora. Akan tetapi,
kenyataan tidak demikian. BPS menyebut dalam 5 (lima) tahun terakhir,
ekonomi Kota Kupang selalu tumbuh diatas 6 persen. Sedangkan daerah lain
di Pulau Timor pada periode yang sama tidak lebih dari 5,8 persen.
Kondisi ini menyebabkan ketimpangan semakin lebar. Salah satu
akibatnya, investor lebih memilih menanamkan modalnya di Kota Kupang
dari pada daerah lain di pulau tersebut. Jika dibiarkan berlarut,
kondisi ini bukan hanya tidak baik bagi kabupaten di Pulau Timor. Bagi
Kota Kupang, kegagalan memberikan spillover effect (limpahan aktivitas ekonomi) ke daerah sekitar akan menyebabkan kondisi sosial-ekonomi yang tidak sehat.
Perlu Evaluasi
Keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan
ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan
antarpenduduk, antardaerah, serta antarsektor (Kuncoro, 2004).
Pemerintah Provinsi NTT perlu mengevaluasi rencana pembangunan.
Sampai saat ini, data belum menunjukkan adanya aglomerasi yang
terjadi akibat pembangunan dan investasi yang masif di Kota Kupang.
Pemerintah perlu melakukan terobosan agar pertumbuhan ekonomi yang pesat
di Kota Kupang mampu memberikan spillover effect ke daerah sekitar.
Salah satu cara yang umum dilakukan adalah membuat pusat pertumbuhan
perekonomian baru di luar Kota Kupang. Seperti yang terjadi pada Pulau
Flores, pusat pertumbuhan berada di Labuan Bajo, Ende, dan Maumere.
Selaras dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi NTT harus mampu
mendorong pemerintah kabupaten agar berani menetapkan Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK) yang lebih kompetitif dibanding UMK Kota Kupang.
Selama ini, banyak pemerintah daerah yang mengikuti besaran UMP
sebagai acuan standar minimum pengupahan. Padahal, besaran tersebut
belum tentu mencerminkan kondisi yang dibutuhkan di daerah
masing-masing.
Bisa jadi, besaran UMP malah menjadikan daerah tersebut tidak
kompetitif bagi investor yang akan menanamkan modalnya. Akhirnya,
investor lebih memilih Kota Kupang yang memiliki infrastruktur lebih
baik yang dapat menekan biaya produksi.
Selain membuat pusat pertumbuhan ekonomi yang baru dan perbaikan
sistem pengupahan daerah, pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota
di Pulau Timor harus bersinergi untuk mem-branding daerah masing-masing sesuai dengan potensinya. Sehingga setiap daerah memiliki ciri khas yang dapat ditonjolkan.
Melalui pembangunan yang fokus terhadap potensi, proses pembangunan
dapat memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat daerah. Jangan
lupakan juga soal peningkatan kapasitas SDM. Jika pembangunan ekonomi
tanpa diikuti peningkatan kualitas SDM, maka tujuan pembangunan tidak
akan tercapai.
Masalah ketimpangan kapasitas SDM di Pulau Timor masih terpampang
jelas. Penduduk 25 tahun ke atas di Kota Kupang memiliki rata-rata lama
sekolah sebesar 11,47 tahun, sedangkan daerah lain di Pulau Timor hanya
6-7 tahun.
Permasalahan ketimpangan memang kompleks. Perlu adanya sinergi antara
pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Jika upaya-upaya seperti
membangun pusat pertumbuhan baru, perbaikan sistem pengupahan daerah, branding daerah,
dan peningkatan kualitas SDM masih sulit diwujudkan, setidaknya
Pemerintah Provinsi NTT dan pemerintah daerah harus mampu memanfaatkan
pembangunan dan pertumbuhan yang pesat di Kota Kupang untuk kemajuan dan
kesejahteraan daerah masing-masing.
Jangan sampai Kota Kupang menjadi derek tak berkail, bergerak sendiri tanpa mampu menarik yang lain.