Oleh Ester F. Abatan
Mahasiswi STIE IEU
SURABAYA/ PKL di Badan Pusat Statistik Kota Kupang
Pandemi covid-19
memunculkan berbagai keprihatinan bagi masyarakat Indonesia. Melihat angka
kasus positif covid-19 yang semakin tidak terkendali, Pemerintah mengambil
langkah untuk mengurangi penularan virus covid-19 dengan menerapkan
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berlaku mulai 3-20 Juli
2021 dan kemudian diperpanjang hingga tanggal 2 Agustus 2021. Sejak
diberlakukannya PPKM tentu mengundang pro dan kontra. Dilema melanda masyarakat
yang menengah ke bawah, terutama bagi mereka yang mengandalkan penghasilan
harian semata-mata untuk survive di tengah pandemi yang seakan mencekik.
Menurut data
yang dirilis oleh Kemnaker, sejak April 2020 sampai dengan Juli 2020 tercatat sekitar
2.175.928 pekerja yang terdampak covid-19. Mereka diantaranya adalah kelompok
yang dirumahkan perusahaan, kelompok yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK), dan kelompok pekerja informal/bangkrut/kehilangan usaha. Mereka yang
dirantai kemiskinan struktural harus menghadapi tantangan melawan covid-19 atau
memenuhi kebutuhan ekonomi,
Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur mengalami
peningkatan dari 11,29 ribu jiwa (September 2019) sebelum virus covid-19 masuk
ke Indonesia, menjadi 11,69 ribu jiwa per Maret 2021. Di hadapan covid-19 nasib
yang kaya dan yang miskin jelas tidak sama. Yang kaya tidak menghadapi pilihan
“mati karena terpapar covid” atau “mati karena lapar.” Karenanya tidak cukup
membatasi gerak tanpa memberi makan mereka yang lapar. Bansos yang diadakan
pemerintah pula belum tepat sasaran dan merata. Belum lagi kasus bansos yang
dikorupsi.
Konsep
kemiskinan
Berbicara
mengenai kemiskinan, kemiskinan itu sendiri adalah ketidakmampuan seorang atau
individu dalam memenuhi kebutuhan utamanya yaitu makanan, pakaian, tempat
tinggal, pendidikan dan kesehatan. Untuk mengukur kemiskinan, BPS sendiri
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic needs approach).
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis
kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan pengeluaran kebutuhan manimum
makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita/hari. Dan pengeluaran
kebutuhan minimum perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan
perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) ukuran garis kemiskinan diprovinsi NTT
sendiri pada tahun 2020 sekitar 403.005 Rp/kapita/bulan.
Namun, menurut
bank dunia menetapkan bahwa batas garis kemiskinan itu ditentukan berdasarkan
pendapatan 2 dollar AS perorang. Sedangkan menurut bank dunia, pendapatan
penduduk Indonesia hanya sekitar 1 dollar AS. Hal ini mengimplikasikan bahwa di
Indonesia terutama dibeberapa daerah yang tertinggal, kemiskinan masih menjadi
beban berat yang harus segera ditanggulangi. Selama lima tahun terakhir
Indonesia mampu menekan angka kemiskinan secara stabil tetapi hal ini tidak
berlangsung lama sejak pandemic covid 19 menyerang.
Berdasarkan
jenisnya, kemiskinan dibagi menjadi empat antara lain, pertama, kemiskinan
absolut yaitu pendapatan seseorang berada dibawah garis kemiskinan dan tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan utamanya. Kedua, kemiskinan relative yaitu
kemiskinan akibat kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh
masyarakat sehingga terjadi ketimpangan distribusi pendapatan. Ketiga,
kemiskinan kultural akibat gaya hidup malas, boros, dan tidak kreatif meski ada
bantuan dari pihak lain. Keempat, kemiskinan struktural yaitu kemiskinan karena
rendahnya akses terhadap sumber daya akibat system sosial, budaya, dan politik
yang tidak mendukung pembebesan kemiskinan.
Ketimpangan Ekonomi
Golongan Kaya dan Golongan Miskin
Jumlah pasien
covid yang semakin meningkat dan varian baru dari virus itu sendiri membuat
pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan dalam upaya untuk memutus
rantai penyebaran covid 19. Akan tetapi, hal ini malah menimbulkan problematika
baru yaitu terjadi ketimpangan antar golongan kaya dan golongan miskin.
Golongan kaya mendukung adanya pembatasan wilayah dan social akan tetapi
golongan miskin banyak yang merasa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru
mencekik mereka.
Menurut lembaga
riset Oxfem, ketimpangan di dunia semakin meningkat pesat selama masa pandemic.
Orang yang kaya tidak terlalu merasakan dampak sedangkan orang miskin semakin
miskin. Dilansir dari Forbes, kekayaan milyuner tetap meningkat per desember 2020
dibanding desember 2019, sedangkan disisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS)
mencetak upah buruh/karyawan di Indonesia per agustus 2020 turun 5,2% dari 2,89
juta ke 2,75 juta.
Tercatat
berdasarkan data dari BPS pada maret 2021 yang diukur oleh gini ratio adalah
sebesar 0,384. Angka ini menurun 0,001 poin jika dibandingkan dengan gini ratio
September 2020 yang sebesar 0,385 dan meningkat 0,003 poin dibandingkan dengan
gini ratio maret 2020 yang sebesar 0,381. Sedangkan untuk provinsi NTT pada
maret 2021, adalah sebesar 0,346. Angka ini menurun 0,010 poin dibandingkan
dengan gini ratio September 2020 yang sebesar 0,356. Semakin tinggi angka gini
ratio, berarti ketimpangan semakin melebar sebaliknya, jika gini ratio
mengecil, maka ketimpangannya semakin kecil. Ketimpangan yang melebar
menandakan bahwa ketidakmerataan pengeluaran masyarakat. Hal ini menunujukan
tingkat kemiskinan relative atau angka ketimpangan pengeluaran turun. Hal ini
diklaim sebagai keberhasilan program penanggulangan kemiskinan seperti bantuan
social (bansos), Bantua Langsung Tunai (BLT), dll. Namun hal ini masih belum
maksimal karena turunya angka ketimpangan masih belum signifikan.
Adanya PPKM
semasa pandemi membuat masyarakat tidak mendapat keleluasan mencari nafkah,
hanya bisa berdiam diri menunggu bantuan yang datang. Yang kaya meneriaki orang
miskin adalah dampak dari kemalasan dan kebodohan padahal kemiskinan itu
struktural.
Mereka yang tidak pernah mengalami tidak
akan mengerti susahnya keluar dari lingkaran kemiskinan struktural. Kemiskinan
struktural menurut Edi Suharto, direktur Kesejahteraan Anak Kemensos, terjadi
bukan karena si orang miskin itu malas, tidak mau bekerja dan sebagainya tapi
karena ketidakmampuan sistem berikut juga struktur sosial dalam memberikan
keadilan yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan kesempatan
pekerjaan-pekerjaan yang layak atau setidaknya mengeluarkan mereka dari ambang
kemiskinan. Akibatnya, yang kaya akan tetap di atas dan yang miskin tetap
terbelenggu di dalam kejamnya sistem yang memperbudak mereka. Masyarakat miskin
bisa dibilang paling merasakan adanya dampak dari pandemi terkhususnya keadaan
semasa PPKM. Kebutuhan akan makanan saja sudah susah payah dipenuhi, apalagi
ditambah kebutuhan pemenuhan kesehatan seperti suplemen, vitamin, dan
obat-obatan untuk melawan covid-19. Lebih sial lagi apabila covid-19 menyerang
tulang punggung keluarga yang tentu menyengsarakan, apalagi sampai merenggut
nyawa.
Dengan demikian,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus lebih tanggap, dan tegas dalam
pemberlakukan protocol kesehatan agar penyebaran covid dapat segera ditanggulangi
dan perekonomian masyarakat kembali berjalan normal. Pemerintah juga diharapkan mampu bekerja sama
untuk melancarkan perealisasian program-program bantuan untuk masyarakat miskin
baik yang tidak terdampak maupun terdampak covid-19 secara merata dan tidak
salah sasaran. kita berharap agar pandemic covid 19 ini segera berakhir dan
angka kemiskinan di tanah kita ini dapat ditekan kembali secara signifikan.